Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lalu dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila
nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru
akan membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu
bukanlah nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan.
Masalahnya, apakah sebuah nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum
laki-laki saja dan tidak mungkin dilakukan oleh kaum wanita?
Kisah berikut ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat. Allahul-Muwaffiq.
Alkisah
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’,
dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata,
“Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi
mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau
mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim, abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang istri
tersebut, sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat
berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu,
mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan dengan
manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka
dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia,
“Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin
mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung
dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya.
Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang
Alim. Dia berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya.
Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada
seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu
menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan harus
bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi, manusia
pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di
depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu, wanita
itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu
pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’ Wanita
memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu
tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu
suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali
barang itu kepadanya?’ Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah,
engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal,
‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’ Sang Alim menjawab,
‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah
dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu
mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala
ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk
mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas
peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
Ibrah
Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,
Beratnya cobaan sering menjadikan manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan, terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bersedih adalah suatu kewajaran terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi, janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Memang, setang sangatlah lihai dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Hanya saja, cara kita memberikan nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam. Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar. Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Mutiara Kisah
Beberapa pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:
1. Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang selama ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap bersabar di kala terkena musibah.
2. Kewajiban bagi para ahlu ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya. Dan hal ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tentunya hal itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.
3. Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang benar.
4. Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan, karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan. Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
5. Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran. Terlebih apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 4 th. ke-8 1429 H/2008
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.
0 komentar:
Posting Komentar