Sabtu, 12 Januari 2013

Wanita Pujaanku


Akhirnya aku dapat mengijakkan kakiku kembali di rumahku, rumah orang tuaku. Sekian lama aku tak merasakan udara segar di sini. Kota kecil tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Semua masih pada tempatnya, sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya.
Seusai aku meletakkan semua barang-barangku, aku pun berniat untuk mengistirahatkan diriku sejenak. Lelah seharian berada di dalam kereta api dari Jogja menuju ke sini. Namun tidak sebanding dengan bahagianya aku kembali kekampung halamanku. Tempat yang lama aku tinggalkan dan aku sempat aku rindukan.
Aku belum dapat memejamkan mata, pada hal jarum jam sudah menunjuk angka 10. Udara malam yang hangat menggodaku untuk melihat keindahan malam. Aku pun keluar dan duduk di teras rumah sembari menikmati lukisan yang begitu indah. Hitam dipadu dengan cahaya-cahaya kecil yang sangat banyak. Terlalu banyak. Hingga aku tak sanggup untuk menghitungnya.
Aku termenung memandangi langit berhias bintang. Anganku tiba-tiba saja mengajakku berlari pada suatu kenangan yang tak pernah kulupakan hingga detik ini. Hingga wanita pujaanku pergi jauh. Sangat jauh. Sampai-sampai aku tak dapat menemukannya dalam peta mana pun.
***
Keceriaan yang selalu mewarnai hariku, hari yang selalu tampak indah bagiku dan tak pernah ingin aku lewatkan ketika itu mulai terusik. Mungkin semua orang menganggapku masih kecil dan belum mengerti apa-apa tapi mereka tidak tahu betapa aku tak ingin mendengarnya, mengalaminya atau bahkan sekedar melihatnya. Sama sekali aku tidak ingin!!
Awalnya aku, Ayah, Ibu dan juga Kakak berada di salah satu ruangan di rumahku. Semua tampak baik-baik saja. Hingga seseorang datang dan mengetuk pintu rumahku. Ibu membukakan pintu. Aku dan Kakakku beralih tempat, ke kamarku, kamarku dan kamarnya. Ayah beranjak dari duduknya kemudian menuju ruang tamu.
“Kak, siapa?” tanyaku dengan wajah polos dan sedikit berbisik padanya yang tengah mengintip.
“Temannya Ayah.” Jawabnya sambil menutup pintu kamar perlahan.
Benarkah? Teman apa? Teman di tempat beliau bekerja? Sempat beberapa kali aku juga diajak Kakak kerumahnya. Tapi, sayangnya tak pernah kudapati wanita itu di sana. Hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah cukup tua dan seorang gadis seumuran Kakakku yang selalu kulihat setiap kali aku ke rumah mungil itu. Tampak sepi.
Setahuku gadis itu anak bungsu dari wanita teman Ayahku itu. Cantik. Sempat aku berpikir dia itu kekasih Kakakku. Dia sangat baik terhadapku, begitu juga sepasang kakek-nenek di rumah itu. Beberapa kali aku bertanya pada diriku sendiri, kemana orang tuanya?
“Kak, tamunya Ayah udah pulang?”
“Kayaknya udah. Tunggu, ya, aku lihat dulu.”
Kakak berjalan mengendap-endap keluar kamar guna memastikan bahwa wanita itu benar-benar sudah tidak berada di rumah ini. Tak berapa lama kemudian ia kembali ke kamar. Kita duduk terdiam di atas tempat tidur.
Beberapa kali kudengar suara Ayah berbicara dengan nada tinggi dan semakin meninggi. Tak ada yang dapat kumengerti apa yang beliau ucapkan. Hingga Kakakku menutup telingaku rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya yang lembut agar aku tak dapat mendengar lagi apa pun suara di luar sana. Aku memandangi wajahnya dengan penuh tanda tanya. Aku tidak mengerti mengapa ia melakukan ini.
Cukup lama tangannya berada di telingaku. Ketika ia perlahan memindahkan telapak tangannya dari telingaku, sudah tak kudengar lagi suara keras Ayah. Hening. Aku dan Kakak pun buru-buru keluar dari kamar kemudian menuju ruang tamu. Tak ada siapa pun di sana. Kemana perginya orang-orang dewasa itu?
Aku dan Kakak saling beradu pandang ketika tak mendapati seorangpun di ruang tamu.
“Enggak ada siapa-siapa.”
Kakak menggenggam tanganku dan membawaku menuju kamar Ayah danIbu. Sudah sampai di depan kamar mereka. Aku yang berada di belakang Kakakku dan menunggunya selesai mengintip pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Tak berapa lama kemudian ia menarik tanganku dan masuk ke kamar.
Kita berdua, aku dan Kakak berdiri, terdiam mendapati Ibu yang tengah mengenakan mukena putih, menghadap kiblat, menengadahkan tangannya, sepertinya. Kami tak ingin mengganggu kekhusyukkan beliau dalam memanjatkan setiap doa.
Tidak terlalu lama kami menunggu Ibu pun selesai merapikan mukena dan sajadahnya. Beliau berbalik. Mendapati kami yang masih berdiri mematung di dekat pintu. Beliau mendekat.
“Kalian? Mencari Ibu?”
Kupandangi matanya yang sedikit memerah dan sembab itu tapi masih tetap tampak indah. Meski sinarnya tampak sedikit redup. Pandang matanya tampak sayu. Apa yang telah terjadi?
“Ibu kenapa? Tadi Ayah…” sebelum sempat Kakak melanjutkan kalimatnya, Ibu membungkam kami dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan memeluk kami erat-erat. Seolah tak ingin kehilangan. Aku merasa sedikit sesak. Namun hangat.
Sekiaan detik kami dalam pelukan hangatnya. Beliau melepaskan perlahan tangannya yang mendekap tubuh kami. Ibu memegang pundak Kakak seraya tersenyum. Memandangi wajahnya lekat.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Belum waktunya. Semua baik-baik saja.”
Kulihat wajah Kakak yang terlihat sedikit meragukan kata-kata Ibu. Namun, sebaliknya Ibu justru mengharapkan Kakak mempercayai kata-katanya.
Aku tak tahu permainan apa yang sedang mereka lakukan. Mengapa tidak mengajakku juga? Mungkin aku dianggap masih belum cukup umur untuk turut bersama mereka.
***
Sekian lama waktu berlalu hingga tiba saat yang paling tak aku duga dan sebaiknya aku tak tahu dan tak mengalaminya. Namun aku tak sanggup untuk mengubah takdir yang sudah digariskan Tuhan.
Waktu telah menjawab semua tanyaku dengan sangat lembut, meski sedikit menyesakkan dada dan terlalu sakit, kurasa begitu. Waktu menjawab di saat yang tak pernah kuduga, hingga kupikir tak akan pernah terjawab. Kejutan bagiku.
Kejadian itu sudah cukup lama. Saat aku masih berusia 10 tahun, kira-kira 9 tahun yang lalu. Aku yang masih suka menggambar ketika itu sedang mencari-cari pensil warna yang entah dimana aku meletakkannya. Aku lupa.
Aku memang tak biasa membereskan setiap barang-barang atau mainanku setelah aku pakai. Kucari di setiap seudut kamarku, kamar Kakakku, dan kamar siapa saja di rumahku. Sedari pagi hingga mentari mulai terik belum juga aku temukan.
Pandanganku tertuju pada sebuah rak besar berwarna hijau di salah satu sudut rumahku. Rak yang sudah cukup lama berada di sana. Kuambil saja sebuah kursi. Tubuhku yang masih belum tinggi tak sampai untuk melakukan pencarian di bagian atas.
Kumulai pencarian pensil warnaku dari sudut paling atas. Berjam-jam aku bergelut dengan debu-debu yang melekat pada puluhan buku di sana. Hingga aku pun sampai pada rak paling bawah. Bukannya sebuah kotak berisi pensil warnaku tapi sebuah amplop berwarna merah muda.
Aku begitu penasaran. Lupakan saja pencarianku tadi. Tanpa berpikir panjang aku pun membuka perlahan amplop itu yang sebelumnya memang telah terbuka. Kupikir itu surat cinta untuk Kakak. Apa lagi setelah kubuka kudapati beberapa lembar kertas berwarna biru dan salah satu di antaranya terdapat potret gadis cantik yang sudah aku kenal sebelumnya.
Kubaca lembar demi lembar tulisan yang tertulis indah di atasnya. Berisi cerita-cerita yang begitu mengejutkan. Tak percaya rasanya. Gadis itu sebagai saksi kunci dari kejadian-kejadian yang telah lalu. Betapa terkejutnya aku saat tiba di beberapa kalimat di pertengahan.
Cerita itu dimulai saat Ayahku yang baru beberapa tahun menikah dengan ibuku, ibu kandungku, tengah berada di luar kota. Beliau sedang menghadiri sebuah acara ketika itu. Entah apa yang terjadi. Ayah dan wanita itu berkenalan. Perkenalan yang awalnya biasa saja, namun berakhir dengan sebuah pernikahan terselubung. Pernikahan yang diselenggarakan secara sederhana di kota lain, hanya sah secara agama dan di saksikan oleh beberapa orang tanpa sepengetahuan dan seijin ibu, ibu kandungku.
Rahasia itu tersimpan rapi. Aku kecewa dengan ayah. Begitukah seorang laki-laki yang seharusnya aku banggakan? Ia menghianati cinta dan kasih ibu. Aku benar-benar membenci pria itu seketika itu juga. Tidak terima rasanya. Aku juga perempuan!!! Begitu juga ibuku.
Kurasa aku cukup memahaminya, membuatku nyaris menangis. Air mataku sudah di pelupuk. Tak ingin lagi aku menyimpan lembaran surat itu. Kurobek-robek. Kubakar saja. Agar wanita pujaanku tak tahu akan hal ini. Biarkan aku saja yang tahu. Begitu sakit. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan ibu jika tahu akan hal ini.
Awalnya kupikir jika aku membakarnya semua akan baik-baik saja. Tapi… aku salah!!! Terlambat!!! Ibu terlanjur tahu tentang semua itu. Sampai-sampai pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi. Namun sayang, tak ada tindakan yang dapat aku lakukan untuk menyembbuhkan atau hanya sekedar menghibur hati yang telah tersayat itu.
Masa anak-anak yang seharusnya dapat kubagi dengan kedua orang tuaku, kini tak lagi dapat aku impikan. Aku yang tak lagi bertemu pria itu sejak aku kelas 6 SD, begitu juga dengan kakakku. Kata orang-orang ayah dan ibu sudah bercerai. Begitukah?? Meski sebenarnya aku masih memilki sedikit rasa kesalku terhadap pria itu, tapi bagaimanapun juga tetap ayahku.
Ibuku, wanita paling tegar yang pernah aku kenal. Ketika ia harus dijodohkan dengan seorang pria yang pernah menjadi suaminya. Belajar menyayanginya dengan tulus walau cintanya pernah dihianati. Bahkan ketika ia merelakan suaminya untuk meninggalkannya dan hidup bersama wanita lain. Ia juga masih sering menanyakan kabar wanita itu padaku. Ia berjalan di garis hidupnya dengan sangat baik.
Aku sangat mengaguminya. Ia tidak pernah melarangku jika aku memiliki mimpi-mimpi indah dan mendukung setiap tidakan positifku, mengingatkanku, menegurku ketika aku sedikit nakal. Sebab ia paham betul dengan diriku. Aku merasa beruntung memilikinya. Di saat apapun ia akan bersamaku selama ia bisa.
Setiap detik yang aku lewati bersamanya kini tak akan terulang kembali. Aku hanya dapat menjadikannya kenangan indah. Ia tak lagi di sisiku untuk selamanya. Sosok indahnya tak akan pernah terhapus dari benakku. Walau potretnya telah meninggalkanku untuk selamanya. Namun jiwanya tetap hidup dalam kalbuku.



Kamis, 03 Januari 2013

Hanya Tiga Kata


Aku sudah terbiasa dengan hiruk pikuk suasana di tempat ini. Tempat yang dahulu tak pernah ingin aku kunjungi. Bukan karena tempatnya yang kotor, tidak, tempatnya bersih. Bukan karena bau obat yang menyeruak dari setiap sudut ruangan. Bukan juga karena banyak pasien dengan berbagai penyakit yang mereka bawa. Bukan juga karena banyak orang memakai baju putih-putih. Bukan. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku tak pernah menyukai tempay ini. Padahal, ayahku seorang dokter dan ibuku seorang perawat. Tapi, aku tak pernah ingin menjadi seperti mereka. Karena aku bukan seseorang yang tega melihat orang lain menderita di hadapanku. Bahkan aku sendiri saja cukup takut melihat luka dan darah pada diriku sendiri. Namun, sejak usiaku 10 tahun aku terpaksa harus sesering mungkin ke tempat ini. Sejak saat itu pula aku dipaksa menyukai tempat ini dan meninggalkan sekolahku. Alasannya, agar aku tetap pada pengawasan orang tuaku. Tapi sejujurnya seindah apapun setiap sudut tempat ini tak ada yang menggantikan tempat yang paling sederhana di rumahku.

Ketika itu seorang pasien dengan luka yang cukup parah di kaki dan kepalanya harus dilarikan ke UGD dini hari itu. Aku yang masih terjaga menyaksikan betapa cemasnya seorang ibu di sana. Ia begitu panik, bahkan sampai ia tak bisa berkata-kata. Namun, ayahnya tampak begitu tenang. Kudengar anak laki-laki itu, yang baru saja masuk UGD terjatuh dari balkon rumahnya. Kupikir, salahnya sendiri malam-malam begini masih berkeliaran. Apa kau pikir ia tidur lalu tanpa sadar dengan mata terpejam berjalan sendiri hingga terjatuh? Begitu?

Kubiarkan saja kejadian itu berlalu. Memangnya siapa dia? Siapa saja bisa mengalaminya. Bahkan termasuk aku. Aku pun kecelakaan sampai aku tak lagi dapat berjalan karena salahku. Bahkan aku juga merasa bersalah kerena hal itu. Bersalah karena membuat Ibu menangis dan Ayahku khawatir.
Hari berlalu begitu cepat, begitu juga dengan kejadian itu. seperti biasa kuhabiskan pagiku dengan sebatang cokelat bersama embun pagi dibasuh cahaya surya menembus celah dedaunan. Sang surya dengan hangat memeluk bumi dan menyingkirkan bulan yang berangsur pucat lalu memudar dan hilang. Begitulah nasib bulan. Tapi, ia dipuji banyak orang karena kesetiaannya pada bumi. Bulan tak pernah berpaling dari bumi.

“Sepertinya aku mengenalmu.” Suara itu mengejutkanku. Berbisik lirih di dekatku membuatku sedikit geli. Sejenak kutoleh seorang laki-laki yang tengah berdiri di sebelahku. Oh, dia rupanya. Memangnya siapa dia? Sok kenal.

“Mengapa kau tak menjawabku?”

Aku masih memandanginya. Lalu, aku hanya menggelengkan kepala. Kutulis pada secarik kertas yang kuambil dari lembar-lembar buku kecil yang selalu aku bawa.

Memangnya kau siapa?
Darimana kau mengenalku?
Setidaknya tahu aku.
 
Lalu kusodorkan padanya. 

“Kau bisu?” Aku tak menjawab dan hanya terdiam. 

“Kalau tidak salah kau sering pergi ke toko buku di seberang sana, ‘kan? Hanya untuk membeli komik atau buku-buku kecil juga pensil dan rautan.” Bagaimana dia bisa tahu?

“Bahkan kau biasa memesan terlebih dahulu.” Katanya lagi.

Rupanya dia tahu akan hal itu. Kupikir hanya penjaga toko saja yang tahu. Mungkin banyak orang yang tahu tapi tak peduli. Entah kapan ia harus pulang. Ia tak pernah mengatakannya padaku. Untuk apa dia mengatakannya padaku? Apa urusannya denganku?

Rupanya tak hanya sampai di situ saja, ia mengamatiku bahkan saat aku tiba-tiba menghela napas dan terasa berat.

“Aku harus pulang hari ini. Tenang saja, aku tak akan membiarkanmu sendirian setiap hari. Setiap hari aku akan mengunjungimu. Aku janji.”

Aku hanya tersenyum. Walau begitu tapi tetap saja aku akan merasakan sepi. Dia menyodorkan sebuah kotak musik padaku. Masih bisakah kupercaya janjinya? Bukankah semua orang bisa saja bohong? Lalu bagaimana kalau suatu saat nanti ia tak menepati janjinya?


Pulang saja ! Pasti banyak teman yang merindukanmu . Tetanggamu, teman sekelasmu bahkan kekasihmu, juga mantan kekasihmu

Ia tertawa. “Kekasih? Aku tak punya kekasih untuk saat ini.” Mendengarnya berkata begitu aku hanya tersenyum simpul sambil menahan tangis. Kuharap ia tidak pernah melihatku bersedih. Ia tampak lebih baik dari sebelumnya. Ia menggenggam tanganku erat sebelum akhirnya melepaskannya dan berlalu hingga bayangnya tak lagi dapat kulihat.

Setiap hari di tempat yang sama aku menunggunya. Memang ia menepati janjinya untuk beberapa bulan. Ia benar-benar tepat waktu. Namun, kadang ia harus telat saat ia harus bergelut dengan kegiatan di sekolahnya. Aku bisa mengerti.

Suatu hari ia tak kunjung datang hingga rasanya aku lelah menunggunya. Aku sudah hampir di ujung asa. Kemana dia? Hari ini, hari libur. Mungkin dia masih sibuk. Ataukah ia berlibur bersama teman sekelasnya? Wajar saja, ‘kan? Tapi, ia tidak mengatakannya padaku sebelumnya.

Hari sudah hampir gelap. Lalu aku pun memutuskan untuk segera kembali. Saat aku berbalik, memutar kursi rodaku, betapa terkejutnya aku. Tak ada hujan dan badai tapi tiba-tiba petir menyambar. Ia datang dengan seorang gadis cantik. Tampaknya mereka begitu akrab. Ia berlari ke arahku.

“Maaf aku terlambat.” Ia berlutut di hadapanku agar ia tak lebih tinggi dariku. Aku hanya tersenyum, berusaha keras agar aku tampak biasa saja.



 

Tidak apa-apa.
Bahkan jika kau tidak datang, aku akan tetap baik-baik saja. 

“Bisa-bisanya kau bilang begitu? Kau masih mau menungguku.”



 


Lepaskan genggamanmu! Biarkan aku pergi! Agar kau tenang dan tak perlu berjuang seperti ini setiap hari.


“Tidak! Kuingin bicara denganmu lebih lama.”



 

Lihat gadis itu! Ia menunggumu.

“Biarkan saja! Aku tidak menngajaknya ke sini. Dia yang ingin ikut.”

Aku hanya tersenyum mendengar jawabnya. Tak pernah kutahu siapa gadis cantik itu. Kupikir itu kekasihnya. Aku juga seorang perempuan. Tampaknya gadis itu tak menyukaiku. Sorot matanya yang bicara. Dengan penuh keberanian dan selama ini tak pernah kunodai bibirku dengan mengucap kata-kata kasar di hadapannya. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi…

“Kau pergi saja! Atau aku yang pergi?! Dan jangan ikuti aku!”

Ia terhenyak. Seketika itu aku berusaha keras pergi dari hadapan mereka. Ia mematung di sana dan gadis itu menghampirinya.  Aku tidak bisu. Kau saja yang sok tahu tentang aku. Kau memang menepati janjimu untuk selalu menemaniku tapi kau tak menepati janjimu untuk menjagaku. 

Kau Galaksi dan aku Andromeda. Di jagat raya ini aku memang bagian darimu. Namun, kurasa tidak jika aku di bumi. Galaksi, sama seperti dirimu yang begitu luas. Banyak nama yang dapat bernaung dalam hatimu. Andromeda, bagian kecil darimu yang bahkan tak dapat kau lihat keberadaannya. Tapi, aku tetap senang dengan namaku, Andromeda. Walau kau tak dapat mendengarku sekalipun.

Jika aku sebuah Negara bagian, bagaimana jika aku akan melakukan segala cara agar aku dapat terlepas darimu dan memerdekakan diri seorang diri? Aku tak lagi harus memilihmu dalam pemerintahan pusat. Kita terpisah. Rasanya itu cukup baik.

Maafkan aku, akuu harus melakukan ini. Ini suatuu kebetulan. Kau tak lagi harus menemuiku. Kau sudah cukup bahagia. Memangnya kau saja yang ingin bahagia? Aku juga. Tapi ini bukan keinginanku tapi ini demi kebaikanku dan kebaikanmu. Itu menurutku, aku tak peduli apa atau bagaimana menurutmu.

Aku memutuskan untuk menjalani hidup normalku. Aku harus bersekolah seperti beberapa tahun silam. Aku tak tahu harus kembali ke sini atau tidak. Rasanya tidak ada lagi yang harus aku pertaruhkan dan harus aku tunggu jika aku kembali ke sini. Biarkan saja semua seperti pada garis orbitnya. Biarkan saja aku menjadi Andromeda dan kubiarkan kau tetap menjadi Galaksi. Ya, Galaksi. Mungkin aku tak akan menggunakan Galaksi Andromeda, walau itu nama lengkapnya. Aku tetap menyebut Andromeda.

Terima kasih atas segala hal yang kau korbankan untukku. Namun sayang, aku harus mengorbankan lebih untukmu. Tapi, kurasa itu lebih dari cukup. Setitik rasa percaya, perasaan dan kenangan dari Andromeda.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code