Akhirnya aku dapat mengijakkan kakiku kembali di rumahku, rumah
orang tuaku. Sekian lama aku tak merasakan udara segar di sini. Kota kecil tempat
aku dilahirkan dan dibesarkan. Semua masih pada tempatnya, sama seperti terakhir
kali aku meninggalkannya.
Seusai aku meletakkan semua barang-barangku, aku pun berniat untuk mengistirahatkan
diriku sejenak. Lelah seharian berada di dalam kereta api dari Jogja menuju ke sini.
Namun tidak sebanding dengan bahagianya aku kembali kekampung halamanku. Tempat
yang lama aku tinggalkan dan aku sempat aku rindukan.
Aku belum dapat memejamkan mata, pada hal jarum jam sudah menunjuk angka
10. Udara malam yang hangat menggodaku untuk melihat keindahan malam. Aku pun
keluar dan duduk di teras rumah sembari menikmati lukisan yang begitu indah.
Hitam dipadu dengan cahaya-cahaya kecil yang sangat banyak. Terlalu banyak. Hingga
aku tak sanggup untuk menghitungnya.
Aku termenung memandangi langit berhias bintang. Anganku tiba-tiba saja
mengajakku berlari pada suatu kenangan yang tak pernah kulupakan hingga detik ini.
Hingga wanita pujaanku pergi jauh. Sangat jauh. Sampai-sampai aku tak dapat menemukannya
dalam peta mana pun.
***
Keceriaan yang selalu mewarnai hariku, hari yang selalu tampak indah
bagiku dan tak pernah ingin aku lewatkan ketika itu mulai terusik. Mungkin semua
orang menganggapku masih kecil dan belum mengerti apa-apa tapi mereka tidak tahu
betapa aku tak ingin mendengarnya, mengalaminya atau bahkan sekedar melihatnya.
Sama sekali aku tidak ingin!!
Awalnya aku, Ayah, Ibu dan juga Kakak berada di salah satu ruangan
di rumahku. Semua tampak baik-baik saja. Hingga seseorang datang dan mengetuk pintu
rumahku. Ibu membukakan pintu. Aku dan Kakakku beralih tempat, ke kamarku, kamarku
dan kamarnya. Ayah beranjak dari duduknya kemudian menuju ruang tamu.
“Kak, siapa?” tanyaku dengan wajah polos dan sedikit berbisik padanya
yang tengah mengintip.
“Temannya Ayah.” Jawabnya sambil menutup pintu kamar perlahan.
Benarkah? Teman apa? Teman di tempat beliau bekerja? Sempat beberapa
kali aku juga diajak Kakak kerumahnya. Tapi, sayangnya tak pernah kudapati wanita
itu di sana. Hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah cukup tua dan seorang gadis
seumuran Kakakku yang selalu kulihat setiap kali aku ke rumah mungil itu. Tampak
sepi.
Setahuku gadis itu anak bungsu dari wanita teman Ayahku itu. Cantik.
Sempat aku berpikir dia itu kekasih Kakakku. Dia sangat baik terhadapku, begitu
juga sepasang kakek-nenek di rumah itu. Beberapa kali aku bertanya pada diriku sendiri,
kemana orang tuanya?
“Kak, tamunya Ayah udah pulang?”
“Kayaknya udah. Tunggu, ya, aku lihat dulu.”
Kakak berjalan mengendap-endap keluar kamar guna memastikan bahwa wanita
itu benar-benar sudah tidak berada di rumah ini. Tak berapa lama kemudian ia kembali
ke kamar. Kita duduk terdiam di atas tempat tidur.
Beberapa kali kudengar suara Ayah berbicara dengan nada tinggi dan semakin
meninggi. Tak ada yang dapat kumengerti apa yang beliau ucapkan. Hingga Kakakku
menutup telingaku rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya yang lembut agar
aku tak dapat mendengar lagi apa pun suara di luar sana. Aku memandangi wajahnya
dengan penuh tanda tanya. Aku tidak mengerti mengapa ia melakukan ini.
Cukup lama tangannya berada di telingaku. Ketika ia perlahan memindahkan
telapak tangannya dari telingaku, sudah tak kudengar lagi suara keras Ayah.
Hening. Aku dan Kakak pun buru-buru keluar dari kamar kemudian menuju ruang tamu.
Tak ada siapa pun di sana. Kemana perginya orang-orang dewasa itu?
Aku dan Kakak saling beradu pandang ketika tak mendapati seorangpun
di ruang tamu.
“Enggak ada siapa-siapa.”
Kakak menggenggam tanganku dan membawaku menuju kamar Ayah danIbu. Sudah
sampai di depan kamar mereka. Aku yang berada di belakang Kakakku dan menunggunya
selesai mengintip pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Tak berapa lama
kemudian ia menarik tanganku dan masuk ke kamar.
Kita berdua, aku dan Kakak berdiri, terdiam mendapati Ibu yang
tengah mengenakan mukena putih, menghadap kiblat, menengadahkan tangannya,
sepertinya. Kami tak ingin mengganggu kekhusyukkan beliau dalam memanjatkan setiap
doa.
Tidak terlalu lama kami menunggu Ibu pun selesai merapikan mukena dan
sajadahnya. Beliau berbalik. Mendapati kami yang masih berdiri mematung di
dekat pintu. Beliau mendekat.
“Kalian? Mencari Ibu?”
Kupandangi matanya yang sedikit memerah dan sembab itu tapi masih tetap
tampak indah. Meski sinarnya tampak sedikit redup. Pandang matanya tampak sayu.
Apa yang telah terjadi?
“Ibu kenapa? Tadi Ayah…” sebelum sempat Kakak melanjutkan kalimatnya,
Ibu membungkam kami dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan memeluk kami
erat-erat. Seolah tak ingin kehilangan. Aku merasa sedikit sesak. Namun hangat.
Sekiaan detik kami dalam pelukan hangatnya. Beliau melepaskan perlahan
tangannya yang mendekap tubuh kami. Ibu memegang pundak Kakak seraya tersenyum.
Memandangi wajahnya lekat.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Belum waktunya. Semua baik-baik saja.”
Kulihat wajah Kakak yang terlihat sedikit meragukan kata-kata Ibu.
Namun, sebaliknya Ibu justru mengharapkan Kakak mempercayai kata-katanya.
Aku tak tahu permainan apa yang sedang mereka lakukan. Mengapa tidak
mengajakku juga? Mungkin aku dianggap masih belum cukup umur untuk turut bersama
mereka.
***
Sekian lama
waktu berlalu hingga tiba saat yang paling tak aku duga dan sebaiknya aku tak
tahu dan tak mengalaminya. Namun aku tak sanggup untuk mengubah takdir yang
sudah digariskan Tuhan.
Waktu telah menjawab semua tanyaku dengan sangat lembut, meski
sedikit menyesakkan dada dan terlalu sakit, kurasa begitu. Waktu menjawab di
saat yang tak pernah kuduga, hingga kupikir tak akan pernah terjawab. Kejutan
bagiku.
Kejadian itu sudah cukup lama. Saat aku masih berusia 10 tahun,
kira-kira 9 tahun yang lalu. Aku yang masih suka menggambar ketika itu sedang
mencari-cari pensil warna yang entah dimana aku meletakkannya. Aku lupa.
Aku memang tak biasa membereskan setiap barang-barang atau mainanku
setelah aku pakai. Kucari di setiap seudut kamarku, kamar Kakakku, dan kamar
siapa saja di rumahku. Sedari pagi hingga mentari mulai terik belum juga aku
temukan.
Pandanganku tertuju pada sebuah rak besar berwarna hijau di salah
satu sudut rumahku. Rak yang sudah cukup lama berada di sana. Kuambil saja
sebuah kursi. Tubuhku yang masih belum tinggi tak sampai untuk melakukan
pencarian di bagian atas.
Kumulai pencarian pensil warnaku dari sudut paling atas. Berjam-jam
aku bergelut dengan debu-debu yang melekat pada puluhan buku di sana. Hingga
aku pun sampai pada rak paling bawah. Bukannya sebuah kotak berisi pensil
warnaku tapi sebuah amplop berwarna merah muda.
Aku begitu penasaran. Lupakan saja pencarianku tadi. Tanpa berpikir
panjang aku pun membuka perlahan amplop itu yang sebelumnya memang telah
terbuka. Kupikir itu surat cinta untuk Kakak. Apa lagi setelah kubuka kudapati
beberapa lembar kertas berwarna biru dan salah satu di antaranya terdapat
potret gadis cantik yang sudah aku kenal sebelumnya.
Kubaca lembar demi lembar tulisan yang tertulis indah di atasnya.
Berisi cerita-cerita yang begitu mengejutkan. Tak percaya rasanya. Gadis itu
sebagai saksi kunci dari kejadian-kejadian yang telah lalu. Betapa
terkejutnya aku saat tiba di beberapa kalimat di pertengahan.
Cerita itu dimulai saat Ayahku yang baru beberapa tahun menikah
dengan ibuku, ibu kandungku, tengah berada di luar kota. Beliau sedang
menghadiri sebuah acara ketika itu. Entah apa yang terjadi. Ayah dan wanita itu
berkenalan. Perkenalan yang awalnya biasa saja, namun berakhir dengan sebuah
pernikahan terselubung. Pernikahan yang diselenggarakan secara sederhana di
kota lain, hanya sah secara agama dan di saksikan oleh beberapa orang tanpa
sepengetahuan dan seijin ibu, ibu kandungku.
Rahasia itu tersimpan rapi. Aku kecewa dengan ayah. Begitukah
seorang laki-laki yang seharusnya aku banggakan? Ia menghianati cinta dan kasih
ibu. Aku benar-benar membenci pria itu seketika itu juga. Tidak terima rasanya.
Aku juga perempuan!!! Begitu juga ibuku.
Kurasa
aku cukup memahaminya, membuatku nyaris menangis. Air mataku sudah di pelupuk. Tak ingin lagi aku menyimpan lembaran surat itu. Kurobek-robek.
Kubakar saja. Agar wanita pujaanku tak tahu akan hal ini. Biarkan aku saja yang
tahu. Begitu sakit. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan ibu jika
tahu akan hal ini.
Awalnya kupikir jika aku membakarnya semua akan baik-baik saja.
Tapi… aku salah!!! Terlambat!!! Ibu terlanjur tahu tentang semua itu. Sampai-sampai
pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi. Namun sayang, tak ada tindakan
yang dapat aku lakukan untuk menyembbuhkan atau hanya sekedar menghibur hati
yang telah tersayat itu.
Masa anak-anak yang seharusnya dapat kubagi dengan kedua orang
tuaku, kini tak lagi dapat aku impikan. Aku yang tak lagi bertemu pria itu
sejak aku kelas 6 SD, begitu juga dengan kakakku. Kata orang-orang ayah dan ibu
sudah bercerai. Begitukah?? Meski sebenarnya aku masih memilki sedikit rasa
kesalku terhadap pria itu, tapi bagaimanapun juga tetap ayahku.
Ibuku,
wanita paling tegar yang pernah aku kenal. Ketika ia harus dijodohkan dengan
seorang pria yang pernah menjadi suaminya. Belajar menyayanginya dengan tulus
walau cintanya pernah dihianati. Bahkan ketika ia merelakan suaminya untuk
meninggalkannya dan hidup bersama wanita lain. Ia juga masih sering menanyakan
kabar wanita itu padaku. Ia berjalan di garis hidupnya dengan sangat baik.
Aku
sangat mengaguminya. Ia tidak pernah melarangku jika aku memiliki mimpi-mimpi
indah dan mendukung setiap tidakan positifku, mengingatkanku, menegurku ketika
aku sedikit nakal. Sebab ia paham betul dengan diriku. Aku merasa beruntung
memilikinya. Di saat apapun ia akan bersamaku selama ia bisa.
Setiap
detik yang aku lewati bersamanya kini tak akan terulang kembali. Aku hanya
dapat menjadikannya kenangan indah. Ia tak lagi di sisiku untuk selamanya. Sosok
indahnya tak akan pernah terhapus dari benakku. Walau potretnya telah
meninggalkanku untuk selamanya. Namun jiwanya tetap hidup dalam kalbuku.
0 komentar:
Posting Komentar