Kamis, 03 Januari 2013

Hanya Tiga Kata


Aku sudah terbiasa dengan hiruk pikuk suasana di tempat ini. Tempat yang dahulu tak pernah ingin aku kunjungi. Bukan karena tempatnya yang kotor, tidak, tempatnya bersih. Bukan karena bau obat yang menyeruak dari setiap sudut ruangan. Bukan juga karena banyak pasien dengan berbagai penyakit yang mereka bawa. Bukan juga karena banyak orang memakai baju putih-putih. Bukan. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku tak pernah menyukai tempay ini. Padahal, ayahku seorang dokter dan ibuku seorang perawat. Tapi, aku tak pernah ingin menjadi seperti mereka. Karena aku bukan seseorang yang tega melihat orang lain menderita di hadapanku. Bahkan aku sendiri saja cukup takut melihat luka dan darah pada diriku sendiri. Namun, sejak usiaku 10 tahun aku terpaksa harus sesering mungkin ke tempat ini. Sejak saat itu pula aku dipaksa menyukai tempat ini dan meninggalkan sekolahku. Alasannya, agar aku tetap pada pengawasan orang tuaku. Tapi sejujurnya seindah apapun setiap sudut tempat ini tak ada yang menggantikan tempat yang paling sederhana di rumahku.

Ketika itu seorang pasien dengan luka yang cukup parah di kaki dan kepalanya harus dilarikan ke UGD dini hari itu. Aku yang masih terjaga menyaksikan betapa cemasnya seorang ibu di sana. Ia begitu panik, bahkan sampai ia tak bisa berkata-kata. Namun, ayahnya tampak begitu tenang. Kudengar anak laki-laki itu, yang baru saja masuk UGD terjatuh dari balkon rumahnya. Kupikir, salahnya sendiri malam-malam begini masih berkeliaran. Apa kau pikir ia tidur lalu tanpa sadar dengan mata terpejam berjalan sendiri hingga terjatuh? Begitu?

Kubiarkan saja kejadian itu berlalu. Memangnya siapa dia? Siapa saja bisa mengalaminya. Bahkan termasuk aku. Aku pun kecelakaan sampai aku tak lagi dapat berjalan karena salahku. Bahkan aku juga merasa bersalah kerena hal itu. Bersalah karena membuat Ibu menangis dan Ayahku khawatir.
Hari berlalu begitu cepat, begitu juga dengan kejadian itu. seperti biasa kuhabiskan pagiku dengan sebatang cokelat bersama embun pagi dibasuh cahaya surya menembus celah dedaunan. Sang surya dengan hangat memeluk bumi dan menyingkirkan bulan yang berangsur pucat lalu memudar dan hilang. Begitulah nasib bulan. Tapi, ia dipuji banyak orang karena kesetiaannya pada bumi. Bulan tak pernah berpaling dari bumi.

“Sepertinya aku mengenalmu.” Suara itu mengejutkanku. Berbisik lirih di dekatku membuatku sedikit geli. Sejenak kutoleh seorang laki-laki yang tengah berdiri di sebelahku. Oh, dia rupanya. Memangnya siapa dia? Sok kenal.

“Mengapa kau tak menjawabku?”

Aku masih memandanginya. Lalu, aku hanya menggelengkan kepala. Kutulis pada secarik kertas yang kuambil dari lembar-lembar buku kecil yang selalu aku bawa.

Memangnya kau siapa?
Darimana kau mengenalku?
Setidaknya tahu aku.
 
Lalu kusodorkan padanya. 

“Kau bisu?” Aku tak menjawab dan hanya terdiam. 

“Kalau tidak salah kau sering pergi ke toko buku di seberang sana, ‘kan? Hanya untuk membeli komik atau buku-buku kecil juga pensil dan rautan.” Bagaimana dia bisa tahu?

“Bahkan kau biasa memesan terlebih dahulu.” Katanya lagi.

Rupanya dia tahu akan hal itu. Kupikir hanya penjaga toko saja yang tahu. Mungkin banyak orang yang tahu tapi tak peduli. Entah kapan ia harus pulang. Ia tak pernah mengatakannya padaku. Untuk apa dia mengatakannya padaku? Apa urusannya denganku?

Rupanya tak hanya sampai di situ saja, ia mengamatiku bahkan saat aku tiba-tiba menghela napas dan terasa berat.

“Aku harus pulang hari ini. Tenang saja, aku tak akan membiarkanmu sendirian setiap hari. Setiap hari aku akan mengunjungimu. Aku janji.”

Aku hanya tersenyum. Walau begitu tapi tetap saja aku akan merasakan sepi. Dia menyodorkan sebuah kotak musik padaku. Masih bisakah kupercaya janjinya? Bukankah semua orang bisa saja bohong? Lalu bagaimana kalau suatu saat nanti ia tak menepati janjinya?


Pulang saja ! Pasti banyak teman yang merindukanmu . Tetanggamu, teman sekelasmu bahkan kekasihmu, juga mantan kekasihmu

Ia tertawa. “Kekasih? Aku tak punya kekasih untuk saat ini.” Mendengarnya berkata begitu aku hanya tersenyum simpul sambil menahan tangis. Kuharap ia tidak pernah melihatku bersedih. Ia tampak lebih baik dari sebelumnya. Ia menggenggam tanganku erat sebelum akhirnya melepaskannya dan berlalu hingga bayangnya tak lagi dapat kulihat.

Setiap hari di tempat yang sama aku menunggunya. Memang ia menepati janjinya untuk beberapa bulan. Ia benar-benar tepat waktu. Namun, kadang ia harus telat saat ia harus bergelut dengan kegiatan di sekolahnya. Aku bisa mengerti.

Suatu hari ia tak kunjung datang hingga rasanya aku lelah menunggunya. Aku sudah hampir di ujung asa. Kemana dia? Hari ini, hari libur. Mungkin dia masih sibuk. Ataukah ia berlibur bersama teman sekelasnya? Wajar saja, ‘kan? Tapi, ia tidak mengatakannya padaku sebelumnya.

Hari sudah hampir gelap. Lalu aku pun memutuskan untuk segera kembali. Saat aku berbalik, memutar kursi rodaku, betapa terkejutnya aku. Tak ada hujan dan badai tapi tiba-tiba petir menyambar. Ia datang dengan seorang gadis cantik. Tampaknya mereka begitu akrab. Ia berlari ke arahku.

“Maaf aku terlambat.” Ia berlutut di hadapanku agar ia tak lebih tinggi dariku. Aku hanya tersenyum, berusaha keras agar aku tampak biasa saja.



 

Tidak apa-apa.
Bahkan jika kau tidak datang, aku akan tetap baik-baik saja. 

“Bisa-bisanya kau bilang begitu? Kau masih mau menungguku.”



 


Lepaskan genggamanmu! Biarkan aku pergi! Agar kau tenang dan tak perlu berjuang seperti ini setiap hari.


“Tidak! Kuingin bicara denganmu lebih lama.”



 

Lihat gadis itu! Ia menunggumu.

“Biarkan saja! Aku tidak menngajaknya ke sini. Dia yang ingin ikut.”

Aku hanya tersenyum mendengar jawabnya. Tak pernah kutahu siapa gadis cantik itu. Kupikir itu kekasihnya. Aku juga seorang perempuan. Tampaknya gadis itu tak menyukaiku. Sorot matanya yang bicara. Dengan penuh keberanian dan selama ini tak pernah kunodai bibirku dengan mengucap kata-kata kasar di hadapannya. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi…

“Kau pergi saja! Atau aku yang pergi?! Dan jangan ikuti aku!”

Ia terhenyak. Seketika itu aku berusaha keras pergi dari hadapan mereka. Ia mematung di sana dan gadis itu menghampirinya.  Aku tidak bisu. Kau saja yang sok tahu tentang aku. Kau memang menepati janjimu untuk selalu menemaniku tapi kau tak menepati janjimu untuk menjagaku. 

Kau Galaksi dan aku Andromeda. Di jagat raya ini aku memang bagian darimu. Namun, kurasa tidak jika aku di bumi. Galaksi, sama seperti dirimu yang begitu luas. Banyak nama yang dapat bernaung dalam hatimu. Andromeda, bagian kecil darimu yang bahkan tak dapat kau lihat keberadaannya. Tapi, aku tetap senang dengan namaku, Andromeda. Walau kau tak dapat mendengarku sekalipun.

Jika aku sebuah Negara bagian, bagaimana jika aku akan melakukan segala cara agar aku dapat terlepas darimu dan memerdekakan diri seorang diri? Aku tak lagi harus memilihmu dalam pemerintahan pusat. Kita terpisah. Rasanya itu cukup baik.

Maafkan aku, akuu harus melakukan ini. Ini suatuu kebetulan. Kau tak lagi harus menemuiku. Kau sudah cukup bahagia. Memangnya kau saja yang ingin bahagia? Aku juga. Tapi ini bukan keinginanku tapi ini demi kebaikanku dan kebaikanmu. Itu menurutku, aku tak peduli apa atau bagaimana menurutmu.

Aku memutuskan untuk menjalani hidup normalku. Aku harus bersekolah seperti beberapa tahun silam. Aku tak tahu harus kembali ke sini atau tidak. Rasanya tidak ada lagi yang harus aku pertaruhkan dan harus aku tunggu jika aku kembali ke sini. Biarkan saja semua seperti pada garis orbitnya. Biarkan saja aku menjadi Andromeda dan kubiarkan kau tetap menjadi Galaksi. Ya, Galaksi. Mungkin aku tak akan menggunakan Galaksi Andromeda, walau itu nama lengkapnya. Aku tetap menyebut Andromeda.

Terima kasih atas segala hal yang kau korbankan untukku. Namun sayang, aku harus mengorbankan lebih untukmu. Tapi, kurasa itu lebih dari cukup. Setitik rasa percaya, perasaan dan kenangan dari Andromeda.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code